Reformasi Ketentuan PPAT – Pejabat Pembuat Akta Tanah

PPAT merupakan pejabat umum yang diangkat oleh Menteri yang berwenang dalam membuat akta-akta otentik atas perbuatan hukum terkait hak atas tanah ataupun hak atas satuan rumah susun. Memang pengertian ‘pejabat umum’ di sini tidak berbeda dengan profesi Notaris. PPAT memberikan pelayanan kepada publik, namun PPAT bukanlah pejabat negara. PPAT diberi kewenangan untuk membantu sebagian tugas daripada pemerintah dalam hal administrasi pertanahan sehingga ada ungkapan bahwa antara PPAT dan Badan Pertanahan Nasional adalah ‘saudara kandung’. Walaupun disebut pejabat umum, PPAT tetap saja hanya berwenang melakukan tugas-tugas tertentu, bukan tugas seumumnya. Disebut pejabat umum karena diangkat oleh ‘penguasa’, dalam hal ini diserahkan kepada Menteri.

PPAT diberi wewenang untuk mengesahkan atau meresmikan perbuatan-perbuatan hukum tertentu dalam hal pertanahan, diantaranya meliputi peralihan hak atas tanah/satuan rumah susun, penjaminan hak atas tanah/SRS maupun pemberian hak diatas tanah hak milik. Atas jasa yang diberikan oleh PPAT, menurut aturannya PPAT akan menerima honorarium (sehingga bentuk penghasilan PPAT adalah honorarium). PPAT tidak menjual jasa, melainkan melayani kebutuhan masyarakat (memberikan jasa) sehingga sebagai pejabat umum, PPAT tidak boleh menolak pihak yang memerlukan jasanya. Bahkan, bagi pihak yang tidak mampu, jasa yang diberikan wajib tanpa pungutan biaya. Namun, ada larangan bagi PPAT untuk membuat akta atas hak-hak atas tanah yang bukti kepemilikannya  tidak ada maupun tidak lengkap.

Pada masa sebelumnya, pengangkatan PPAT masih dibatasi dengan formasi yang tersedia. Selain itu, syarat pengangkatannya terbilang sulit karena terlebih harus lulus ujian PPAT yang terkenal sulit/tidak mudah. Apalagi waktu penyelenggaraan ujian PPAT tak sesering ujian Kode Etik Notaris. Ini tampak dari banyaknya Notaris yang masih belum mendapatkan SK pengangkatan sebagai PPAT. Pengangkatan PPAT juga dibatasi oleh umur. Bila pengangkatan sebagai Notaris dilakukan bagi mereka yang sudah berusia 27 tahun, maka usia pengangkatan PPAT minimal 30 tahun.

Kini, Menteri ATR (masa Bpk. Ferry M Baldan) telah menghapus ketentuan terkait pembatasan formasi PPAT (SK Men ATR/Kep. BPN No.208/KEP-17.3/VIII/2015). Artinya, setelah lulus ujian PPAT, yang bersangkutan dapat langsung diangkat sebagai PPAT tanpa memandang ketersediaan formasi lagi. Semua permohonan dikabulkan, demikian menurut Pak Menteri. Ketentuan tersebut merupakan kabar gembira bagi para calon PPAT. Syarat usia pun kini di-permuda (bukan dipermudah) dengan PP No. 24 Tahun 2016. Bila calon telah lulus jenjang pendidikan magister kenotariatan (M.Kn) atau sekolah pertanahan, maka dapat diangkat sebagai PPAT ketika di usia 22 tahun. Walaupun demikian, banyak yang berpandangan bahwa usia 22 tahun masih tergolong dini untuk mampu ‘menguasai diri’ dalam menjalankan jabatan sebijak PPAT. PPAT tak saja menjalankan tugas-tugas administratif, melainkan juga harus mampu memberikan ‘solusi’ atas permasalahan pertanahan yang biasanya dikuasai melalui pengalaman. Wajib magang 1 tahun sebelum menjabat dipandang kurang mencukupi sebagai modal pengalaman seorang PPAT.

Bahkan, terobosannya tak disitu saja. Wilayah kerja PPAT kini tak lagi meliputi wilayah kabupaten/kota sesuai wilayah kantor pertanahan setempat, melainkan mencakup satu wilayah provinsi (perluasan wilayah) sebagaimana diatur dalam Pasal 12 PP No. 24 Tahun 2016. Bila dicermati, maka kebijakan perluasan wilayah sebenarnya merupakan tindak lanjut dari kebijakan penghapusan formasi. Di satu sisi, setiap daerah akan memiliki peluang yang sama mengenai jumlah pengangkatan PPAT, di sisi lain memang menjadikan faktor penumpukan jumlah PPAT di suatu daerah. Di sini, kita perlu memberikan apresiasi atas terobosan ini. PPAT juga merupakan profesi/pekerjaan untuk memberikan penghasilan (bukan sekedar jabatan pengabdian). Oleh karenanya, hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan (sebagai bagian dari pemenuhan hak dasar manusia) tidak boleh dibatasi jalannya. Jalannya harus dibuka selebar-lebarnya demi keadilan. Pembatasan sebaiknya dilakukan berkaitan dengan kompetensinya.

Namun, perluasan wilayah ini tak berlaku bagi PPAT Sementara yang umumnya dijabat oleh camat. Kewenangan PPAT Sementara tetap di wilayahnya saja. Keberadaan PPAT Sementara memang diperlukan untuk wilayah-wilayah yang jumlah PPAT-nya masih sedikit. Walaupun demikian, kerap ditemui pengangkatan PPAT Sementara di daerah perkotaan. Bagaimana pelaksanaan konkrit mengenai perluasan wilayah kerja tersebut, sampai saat ini belum ada aturan pelaksanaannya. Kalangan PPAT masih menanti kebijakan tersebut selanjutnya.

Mengenai perluasan wilayah kerja PPAT, banyak pihak (dari kalangan PPAT) yang menganggap bahwa perubahan kebijakan tersebut dapat memberi dampak yang kurang sehat bagi keberadaan PPAT, terutama di daerah-daerah. Walaupun semua sepakat bahwa rezeki diatur oleh Tuhan yang Maha Kuasa, namun banyak pihak yang berpendapat bahwa perluasan tersebut justeru akan mempersempit ‘ruang gerak’ PPAT yang tak mampu ‘bersaing’ dalam ber-‘rekanan’, baik dengan pihak Bank (yang selama ini banyak menggunakan jasa Notaris/PPAT), maupun ber-‘rekanan’ antar sesama PPAT lainnya. Diantara sejumlah perbuatan terkait pertanahan, maka perbuatan yang paling populer dilakukan adalah pemberian hak tanggungan. Perbuatan terkait penjaminan (hak atas) tanah/SRS ini umumnya diminta oleh pihak perbankan dalam hubungannya dengan pemberian kredit atau pembiayaan (tanah/bangunan lebih disukai sebagai jaminan). Aturan yang berlaku di bank pada umumnya adalah mengharuskan Notaris/PPAT untuk mengajukan permohonan terlebih dahulu menjadi ‘rekanan’ Bank sebelum mendapatkan pekerjaan tersebut. ‘Rekanan’ disini berfungsi sebagai filter bagi Bank dalam memilih mitra yang akan membantu pekerjaan-pekerjaan mereka. Biasanya, sebelum akta pemberian hak tanggungan dibuat, Notaris akan membuatkan SKMHT mengingat pembuatan APHT belum dimungkinkan, misalnya karena bidang tanah yang dijaminkan berada di luar daerah kerja Notaris/PPAT yang bersangkutan. Apabila bidang tanah yang dijaminkan terletak di beberapa wilayah yang berbeda, namun masih dalam satu provinsi, tentu dengan perluasan wilayah ini akan memudahkan Notaris dalam melaksanakan tugasnya. Cukup ber-rekanan dengan satu PPAT tertentu dalam satu provinsi, maka semua pembuatan aktanya dapat ter-cover dengan seorang PPAT. Bila tidak dicermati dengan arif, bukan tidak mungkin kondisi ini dapat menyuburkan kembali biro-biro jasa yang khusus untuk mendaftarkan hak tanggungan di kantor pertanahan setempat. Khusus untuk wilayah perkotaan besar, seperti Jakarta, sudah barang tentu perluasan wilayah ini menjadi kabar yang menggembirakan bagi para Notaris/PPAT yang menjadi rekanan Bank (suka atau tidak suka). Faktanya, kegiatan pemberian kredit/pembiayaan sekaligus penjaminannya menjadi tulang punggung kegiatan ekonomi/bisnis di kota-kota besar, walaupun obyek penjaminannya juga banyak yang berada di luar kota.

N